Minggu, 05 September 2010

The Root of My Adventures #1 Gunung Merapi, Jawa Tengah (2968 mdpl)

Add caption
Pendakian pertama dalam hidupku! Perasaan berdebar-debar diselimuti semangat muda ini begitu berkobar menghadapi perjalanan yang masih samar-samar. Seperti warna alam ini, sanubari diselimuti bayangan yang tercampur, di satu sisi ada rasa senang bukan kepalang, yang lainnya terbayang sesuatu yang mengerikan tentang gunung. Tentang gunung yang mistis dan cerita-cerita mengenai orang-orang yang hilang atau meninggal di gunung. Tapi tak apalah, sudah terlanjur berdebar-debar, tinggal maju melangkah dan hadapi semua yang terjadi.

Cerita ini diawali dengan sebuah diskusi kecil kawan-kawan kampus, antara Veri, Viko, dan Kris. Dua yang terakhir merupakan anggota sebuah pecinta alam di masing-masing sekolah membagikan pengalaman mereka seputar pendakian gunung. Kemudian ada sebuah ide nyeletuk yang terlontar dari satu mulut, “bagaimana kalau kita langsung coba aja naik gunung”, gak perlu banyak omong dan rencana. Rencana awal aku dan Veri yang notabene baru seorang pemula, yang terkagum dengan foto dan pengalaman kedua kawan kami itu akan diajak mendaki Gunung Ungaran (2050mdpl).

Sebenarnya ada satu kendala yang membuat rencana perjalanan pertama ke gunung itu berpotensi gagal, ijin dari orang tua! Terutama dari ibu saya, yang walaupun juga seorang pecinta alam dan sudah sering naik gunung, beliau sangat menentang keras jika saya berencana naik gunung. Alasannya karena beliau menganggap saya tidak disiplin, jadi beliau takut jika hal itu akan membahayakan nyawa saya. Tapi semua perlu dibuktikan bahwa saya juga memiliki keinginan kuat naik gunung. Akhirnya rencana perijinan telat satu minggu, kurang 3 hari dari hari-H. Awalnya ibu hampir menangis ketika tahu saya ngeyel untuk tetap naik gunung. Namun beliau akhirnya menyerah juga untuk mengijinkan saya. Walau ketika itu hati beliau terlihat sangat berat, namun kelak akan sangat terbiasa dengan kepergian anaknya ini mengarungi derasnya kabut rimba. Terimakasih yang teramat sangat untuk beliau.

Add caption
H-1, packing segala persiapan dengan dipandu oleh Bung Viko. Dengan perlengkapan apa adanya, tas ransel biasa, serta makanan dan baju ganti yang tidak terkontrol, saya bersiap menghadapi hari esok yang mendebarkan. Hari Kamis tanggal 19 November 2009, hari kami diawali dengan kuliah seperti biasa. Sore hari menjelang keberangkatan kami, hujan turun cukup deras, sehingga memaksa kami membatalkan keberangkatan ke base camp hingga malam hari. Diiringi doa dari keluarga dan kawan-kawan, kami segera berangkat setelah maghrib. Sempat mampir di salah satu toko outdoor untuk beli bahan bakar parafin, sedikit tanya-tanya arah menuju base camp Selo. Setelah cukup kami langsung tancap gas, menuju Base Camp Selo di Boyolali.

Perjalanan menuju base camp memakan waktu sekitar 3,5 jam plus hujan cukup deras saat kami melewati Jalan Magelang. Karena Bung Viko ketika pendakian pertamanya ke Merapi tidak melewati jalur Muntilan-Selo, kami banyak tanya di sepanjang perjalanan. Jalur awal sebelum sampai ke Ketep Pass masih landai layaknya jalan di kota. Setelah itu jalur banyak menanjak, turun, menikung, tanjakan lagi. Walau jalan sudah diaspal mulus namun cukup menguras tenaga kuda besi kami. Perlu berhati-hati di beberapa titik akan ada genangan air bekas hujan serta di beberapa tikungan akan ditemui jalan aspal namun diselimuti pasir dan tanah yang akan memperlicin jalan kendaraan. Setelah sekitar 2 jam menyusuri jalan pegunungan, akhirnya kami sampai di Desa Selo. Setelah menemukan pertigaan dengan sebuah pohon di tengahnya, Base Camp dicapai ke arah selatan. Jalan menanjak curam, perseneling tak bisa beranjak dari angka satu. Hawa dingin langsung menusuk.

Hanya kami ketika itu di base camp, tak ada tanda-tanda ada pendaki lain yang akan naik maupun baru turun. Sekretariatnya pun tutup, kami disambut oleh pemilik rumah. Jam 11 ketika itu dan kami langsung beranjak tidur, mengisi tenaga untuk perjalanan. Bangun jam 1 malam, sholat dan paking ulang. Setelah berdoa dan pamit kami pun memulai perjalanan yang mendebarkan tentunya.

Perjalanan awal menyusuri jalan aspal menanjak menuju arah sebuah gardu pandang. Cukup untuk sebuah awal yang panas, menghangatkan tubuh yang sejak tadi kedinginan. Trek yang berupa jalanan aspal cukup menanjak membuat kami ngos-ngosan. Sedikit demi sedikit menghirup udara malam yang berat dan dingin. Sekitar sepuluh menit kami sampai di pintu rimba. Di ujung jalan aspal terdapat sebuah gardu pandang tingkat dua dengan halaman luas, berjejer dengan warung yang ketika itu tutup. Pintu rimba terletak di sebelah kiri kompleks gardu pandang, menyempil terlihat dengan ciri-ciri jalanan tanah. Istirahat sebentar mengambil napas, berdoa, dan perjalanan kami lanjutkan.

Dengan perasaan berdebar-debar kami memulai perjalanan menuju jalanan yang gelap di depan. Dengan dibantu lampu senter kami meniti jalur pendakian. Pada jalur awal kami meniti di pinggir tebing di sebelah kanan dan diselimuti hiasan jurang di sebelah kiri. Suara gemericik air terdengar dari dasar jurang yang merupakan sungai. Ladang penduduk menghiasai pemandangan di awal perjalanan di malam itu, dengan trek bertanah namun terjal. Cukup ngos-ngosan kami beberapa kali beristirahat ditemani seteguk air minum. Namun tragedi terjadi disini. Baru sekitar satu jam berjalan sandal saya putus. Sedikit kebingungan mendera, namun Bung Veri bergegas mengambil peniti untuk sedikit membenarkan sandal saya yang tidak ada serepnya. Mental saya drop saat itu, apakah terus berjalan atau mundur dengan keadaan sandal saya yang seperti ini. Namun tekad terlanjur bulat apapun yang terjadi harus dihadapi.

Satu jam kemudian kami memasuki hutan cemara. Disambut angin yang berhembus semakin kencang, mendinginkan suasana. Lanjut berjalan, trek semakin terjal. Kami mulai sering menggunakan tangan untuk berpegangan pada dinding tanah, bebatuan serta akar pohon. Sesekali melewati trek yang diapit oleh dua dinding tanah, suasana seperti di dalam goa bawah tanah, mencekam dan dingin. Hingga sampailah kami pada sebuah percabangan yang membingungkan. Jalur kanan merupakan sambungan jalur sebelumnya masih terjal, sedang yang kiri terlihat landai dan tampak santai. Akhirnya kami putuskan untuk mengambil jalur sebelah kiri. Benar saja, jalurnya landai, nampak santai tidak seperti jalur sebelumnya yang benar-benar menguras lutut kami. Namun lama kelamaan mulai muncul keraguan, jalur mulai tertutup rerumputan, sebelah kiri kami menganga jurang dengan lebar jalur yang tidak sampai setengah meter. Istirahat sebentar setelah satu jam berjalan meniti jalur yang mulai tidak jelas ini. Mencoba tenang dan duduk sembari berdiskusi apakah melanjutkan perjalanan melalui jalur ini atau mundur hingga menemukan percabangan. Diputuskan untuk terus berjalan melewati jalur ini. Jalur masih terus tertutup rerumputan melipir punggungan dengan jurang yang masih tetap menganga di sisi kiri kami. Akhirnya dugaan kami terjawab sudah, kami tersesat! Jalur nampak buntu di ujungnya, dihalangi tembok setinggi orang dewasa.

Dengan tekad bercampur kenekatan serta keadaan sandal saya yang mengkhawatirkan kami tetap berjalan ke atas, menuju puncak punggungan yang terlihat. Dengan keahliannya, Bung Viko terus memandu kami dan mencoba menggapai trek dadakan yang cukup terjal. Istirahat sebentar sembari berdoa dipimpin oleh adzan Shubuh yang mulai terdengar dari kejauhan. Setelah cukup tenaga dan tekad, perjalanan kami kali ini benar-benar memanjat. Tangan dan kaki semua bergerak, apapun yang bisa dijadikan pegangan bahkan seonggok rumpur yang rapuh. Disini sandal saya kembali putus. Peniti yang ditaruh di alas sandal tidak kuat bergesekan dengan bebatuan. Terpaksa sandal saya ungsikan ke tas, dan hanya beralaskan kaos kaki yang dipinjamkan Bung Veri. Bung Viko sedikit khawatir dengan keadaan kaki saya hanya beralaskan kaos kaki.

Add caption
Akhirnya, sekitar pukul 6 pagi kami sampai juga di puncak punggungan. Kami pun juga menemukan jalur yang benar yang berada di puncak punggungan ini. Perasaan lega memayungi kami. Berfoto-foto sebentar sambil menyambut sunrise yang mulai menjelang. Puncak bebatuan Gunung Merapi mulai terlihat, begitu angkuhnya sembari mengepulkan asap yang seakan tiada habisnya. Gunung Merbabu setia mendampingi di sebelah utara dengan “Seven Summits”-nya yang mulai terlihat diterpa sinar mentari.

Kami pun memulai perjalanan kembali, meniti trek yang berupa batu-batu cadas. Saya kembali mengkhawatirkan sandal yang harus mengarungi jalur yang mulai berat. Dengan bantuan peniti lagi dan tali rafia yang tidak sengaja terbawa saya kembali berjalan menuju Puncak Garuda. Tak lama, sekitar setengah jam kami segera sampai di pos 2 berupa tugu. Disini merupakan batas vegetasi, karena sehabis ini jalur akan jarang sekali ditemukan tumbuhan. Agak berjalan maju kami memilih sebuah batu besar sebagai tempat untuk memasak, mengisi perut yang mulai kosong. Disini kami bertemu dua orang yang ternyata seorang adalah seorang guide dan seorang lagi adalah seorang turis dari Singapura. Sebelumnya kami sempat bertemu kedua orang ini di daerah hutan pinus sebelum kami tersesat dan mereka telah sampai di pos 2 ini sejak jam 4 pagi tadi. Sang guide memilih untuk menghentikan perjalanan disini dan tidak ke puncak, disebabkan keadaan Puncak Merapi yang sedang mengepulkan asap lebih tebal dan banyak dari biasanya. Karena himbauan sang guide kami juga memutuskan untuk tidak muncak, tapi tetap mampir ke Pasar Bubrah, sebuah lapangan batu yang cocok digunakan sebagai camp sebelum melakukan pendakian ke puncak. Sedikit kecewa, namun apa daya alam tidak mengizinkan.

Setelah selesai sarapan kami berpamitan menuju Pasar Bubrah, coba melihat legendanya dari dekat. Kali ini trek menjadi lebih sulit, didominasi batu cadas dengan kemiringan yang tidak bisa dianggap enteng, apalagi dengan keadaan alas kaki saya yang remuk. Sempat berhenti beberapa kali, mengencangkan tali rafia yang menguatkan sandal saya. Kaki mulai terasa pedas, tak terhitung banyaknya saya terjatuh, terpeleset, dan tangan pun ikut terluka berpegangan pada batuan cadas yang betul-betul pedas.

Setelah ngesot pada bebatuan yang labil dan banyak kali terperosok, akhirnya kami bisa melihat Pasar Bubrah. Sebuah lapangan batu luas dengan beberapa batu besar. Konon disini merupakan pasar gaib dengan segudang cerita mistis menaunginya. Sebelum menuruni Pasar Bubrah terdapat sebuah area beberapa tugu memoriam. Karena baru pertama kali melihatnya saya agak kagum dan mendoakan arwah para pendaki ini di alam sana. Perasaan haru dan senang timbul. Walaupun akhirnya tidak bisa menggapai Puncak Garuda, namun puncaknya yang terasa dekat mengingatkan saya akan tak berartinya manusia di alam ini. Kecil mungil tanpa daya, hanya bisa bergantung pada alam. Tak sepatutnya saya sombong, sampai di tempat itu saja saya bekerja keras bukan main, menahan pedih perih, menahan haus dan lapar, serta menahan perasaan egois ketika tersesat. Saya mulai bisa merasakan kerasnya dunia. Merapi yang ajarkan saya tentang hal itu.

Add caption
Setelah puas melihat pemandangan dan berfoto-foto ria, kami segera melanjutkan perjalanan turun. Karena ketika kami sampai di tugu memorian hampir pukul 9 siang, matahari sedang menyengat waktu itu. Perjalanan turun ini merupakan perjalanan yang sangat berat bagi saya. Sandal akhirnya sudah tidak bisa diselamatkan lagi, setelah berjibaku selama seharian akhirnya sandal sebelah kanan benar-benar rusak tanpa bisa digunakan. Sandal kanan saya masukkan ke tas dan yang sebelah kiri masih saya gunakan dengan berkait pada handuk yang saya bagi dua untuk mengencangkan sandal yang tinggal alasnya saja dengan kaki saya. Hanya beralaskan kaos kaki pinjaman Bung Veri saya mulai berjibaku dengan trek batu cadas, kepedihan merayapi kaki. Saya tertinggal jauh di belakang, namun kedua teman saya setia menunggu. Tangan kaki terus saya gunakan, sudah seperti hewan saja rupanya. Beberapa kali terperosok juga, akhirnya melihat pos 1 yang pada perjalanan naik tidak sempat kami lewati karena tersesat. Berfoto lagi dan kemudian langsung lanjut turun. Trek setelah ini begitu licin didominasi tanah lempung basah, seperti habis diterpa hujan. Tangan dan kaki mulai bergetar, kecepatan semakin berkurang. Walau begitu kawan-kawan saya tetap setia menemani, begitu terharu saya mendapat pelajaran yang berharga dari kedua teman ini. Walau rasa capai mendera perjalanan turun ini diselimuti canda tawa. Bung Viko sedikit memberi pelajaran bagaimana menghadapi trek tanah licin ini, walau beliau juga sempat terperosok dan kram. Namun jiwa satria nya menguatkan semua, termasuk saya dan Bung Veri yang baru pertama naik gunung ini.

Add caption
Akhirnya setelah 4 jam perjalanan turun yang menderita, akhirnya kami sampai juga di pintu rimba New Selo. Langsung turun ke base camp dengan tertatih-tatih, jalan aspalnya selalu terasa panjang walau telah beberapa kali saya melewatinya. Akhirnya menghirup udara peradaban juga, setelah semalaman dicengkeram aroma hutan rimba. Kegiatan penduduk Selo ramah menyapa kami yang baru turun, termasuk perkebunan tembakau di kanan kiri. Cuci kaki sebentar di base camp, langsung kami berpamitan pulang dengan pemilik base camp, berpamitan pulang juga saya dengan sandal kaki yang saya gunakan selama perjalanan. Walau tak berguna lagi, namun penuh terisi kenangan, sebuah perjalanan yang akan saya hampiri lagi, insya Allah. Deru motor mulai dinyalakan bersamaan dengan kaki saya yang kotor lagi karena vulgarnya ia bertelanjang. Perjalanan pulang kami mulai. Gunung Merapi malambaikan tangannya dari balik punggung, terharu kami melihatnya yang selalu membuka rimba untuk setiap pengunjung. Satu dua kali takkan cukup, saya akan kembali. Sebuah awal yang menyenangkan dan mendebarkan untuk petualangan – petualangan selanjutnya.